Senin, 25 November 2013

PENERAPAN GCG PEMERINTAH/ INSTITUSI PEMERINTAH


Penerapan GCG Pemerintahan/ Institusi pemerintah
Bakti Event: Dari e-Procurement Menuju Good Corporate Governance
Sejak multi krisis yang terjadi dan era reformasi tahun 1997, sebenarnya pemerintah mulai melakukan perubahan yang ditujukan untuk mewujudkan pemerintahan yang baik dan bersih (good governance) dalam meningkatkan pelayanan kepada masyarakat yang lebih demokratis. Dalam Keputusan Menteri Badan Usaha Milik Negara Nomor:Kep-117/M-Mbu/2002 tentang Penerapan Praktek Good Corporate Governance (GCG) pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dijelaskan bahwa Corporate Governance adalah suatu proses dan struktur yang digunakan untuk meningkatkan keberhasilan usaha dan akuntabilitas guna mewujudkan nilai nilai demokratis, berlandaskan peraturan perundangan dan nilai-nilai etika. Aspek kunci dari prinsip GCG meliputi adil, responsibilitas, transparansi, independensi, akuntabilitas, keselarasan dan kewajaran dalam segala hal yang dilakukan. Dukungan teknologi informasi dapat meningkatkan kapabilitas lembaga-lembaga pemerintah dalam memberikan kontribusi bagi penciptaan nilai tambah, serta menghindari korupsi, kolusi dan nepotisme. Oleh karena itu, E-Procurement yang dilakukan oleh lembaga pemerintahan adalah salah satu aplikasi yang merupakan implementasi dari lembaga tersebut dalam mendukung GCG.
Hal ini sepertinya disadari penuh oleh Pemerintah Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan. Melihat sistem Pengadaan Barang dan Jasa yang selama ini sering bermasalah, Pemkab Luwu Utara berinisiatif untuk menerapkan sistem pengadaan barang dan jasa melalui e-Procurement. E-Procurement yang dimaksud adalah tender pengadaan barang dan jasa secara online dengan basis web atau internet. ”Dulu sebagian besar pejabat dan panitia lelang sering tertangkap dan masuk penjara karena hal ini. Banyak terjadi KKN dan sering tidak sesuai dengan prosedur yang berlaku,” terang Bapak Ir. Arief R. Pallalo, Kepala Layanan Pengadaan Secara elektronik (LPSE) Pemkab Luwu Utara pada saat menjelaskan tentang e-Procurement kepada para undangan di acara Diskusi BaKTI dengan tema ”E-Procurement: Menutup Rapat Pintu Masuk KKN di Kabupaten Luwu Utara.” Acara diskusi dilaksanakan di Yayasan BaKTI, Jalan Dr. Soetomo No. 26, tanggal 11 Februari. Diskusi ini adalah salah satu diskusi dari rangkaian Acara Diskusi BaKTI yang diadakan tiap bulan. Untuk tahun ini tema yang diusung adalah ”Berbagi Untuk Perubahan”. Tema ini dibuat dalam rangka Yayasan BaKTI mendukung pembangunan melalui semangat berbagi pengetahuan yang membawa perubahan.
Keinginan yang begitu kuat dari Pemkab Luwu Utara terutama didukung penuh oleh Pak Bupati membawa implementasi e-Procurement dapat dijalankan disana. Pak Arif mengatakan bahwa awal dicanangkan sistem ini, Pemkab Luwu Utara tidak mempunyai sarana dan SDM yang layak. Internet tidak ada dan sedikit dari pegawai Pemkab Luwu Utara yang bisa memakai komputer dengan baik. ”Tabe Pak, untuk membangun sistem ini membutuhkan biaya besar dan SDM yang bagus, ini program nekat dan hanya 15 sampai 20 persen yang paham tentang komputer,” lanjut Pak Arif ketika Pemkab Luwu Utara memutuskan untuk membangun sistem e-Procurement. Namun dengan adanya dukungan yang baik dari level eksekutif dan legislatif dapat mengalahkan segala tantangan dan mempercepat proses adopsi e-Procurement. Hal ini juga ditandai dengan dikeluarkannya Peraturan Bupati Luwu Utara Nomor 14 Tahun 2009 tentang Pelaksanaan Proses Pemilihan Penyedia Barang/Jasa Pemerintah Daerah dengan Sistem e-Procurement, yang diawali dengan Instruksi Bupati Luwu Utara Nomor 1 Tahun 2009  tentang koordinasi dan persiapan dalam rangka pelaksanaan  pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Daerah dengan sistem e-Procurement.
Untuk mempersiapkan pelaksanaan e-procurement selanjutnya pemerintah membentuk Sekretariat Layanan e-Procurement yang dimotori langsung Kepala Dinas Komunikasi, Informatika dan Budpar (Kominfobudpar) dengan mengeluarkan Surat Perintah Tugas Nomor 555/13/Kominfobudpar tanggal 12 Februari 2009, Pengelola Sekretariat Layanan e-Procurement sebagian besar direkrut dari para pegawai pemerintah namun untuk efektivitas kerja dilakukan juga pencarian outsource yaitu tenaga pendukung yang direkrut diluar PNS, serta dibentuk pula kelompok kerja ULP yang dimotori langsung oleh Bagian Administrasi Pembangunan Setdakab Luwu Utara. Pemkab Luwu Utara juga melakukan studi Banding ke Pemkot Surabaya dan mengadopsi sistem e-Procurement dengan bentuk semi-electronic selama satu tahun, kemudian tanggal 18 Februari 2010 diputuskan untuk migrasi ke sistem full- electronic yang dikembangkan oleh Lembaga Kebijakan Pengadaan barang/jasa Pemerintah  (LKPP).
Hasilnya cukup menggembirakan, dibanding dengan sistem manual, pelaksanaan e-procurement jauh lebih baik dan efisien karena hemat waktu dan biaya. Peluang untuk menciptakan celah korupsi, kolusi dan nepotisme juga semakin tidak ada. Menurut Andi Ahmad Yani, staf Edukasi Departemen Administrasi Publik FISIP, Unhas, menyatakan bahwa sudah seharusnya pemerintah menerapkan sistem pelayanan yang berbasis website atau elektronik. Hasil survei menyatakan bahwa di tahun 2005, jumlah pemerintah kota di negara-negara Asia yang memiliki website adalah 78 persen. Dibandingkan dengan tahun 2007 sudah menjadi 89 persen, sehingga ada indikasi terjadinya peningkatan. ”Tidak ada istilah salah pintu lagi, semua terintegrasi, itu implikasi dari pemerintah yang merubah sistem administrasinya, dari yang bersifat bureaucracy (Bureaucratic Administration) ke infocracy (Networking Administration),” lanjutnya. Penerapan e-Government (yang lebih luas dari e-Procurement) akan membuat pengaruh yang baik kepada pemerintah baik itu secara internal dan eksternal. Dari sisi internal Andi Ahmad Yani menyebutkan akan menghindari duplikasi, mengurangi biaya operasional, lebih efisien, mendorong transparansi dan memudahkan koneksi antara unit satu dengan unit lainnya. Dari sisi eksternal Andi melihat pelayanan yang lebih cepat, tingkat partisipasi yang lebih banyak dan keterlibatan masyarakat. Dia juga menyoroti bahwa hanya dua website pemerintah yang menggunakan link e-Procurement LPSE di Sulawesi Selatan, yaitu website Pemkab Luwu Utara dan Pemprov Sulawesi Selatan.
Hal ini senada dengan pernyataan dari Kepala Sub Direktorat Pengembangan e-Procurement LPSE  Jakarta, Bapak R. Suryanto. Ia menyatakan bahwa hampir sebagian besar transaksi manual dalam tender pengadaan selalu mengalami masalah dan selalu berbau KKN. Bapak Suryanto mengatakan bahwa dengan e-procurement akan meminimalisir kerugian negara akibat KKN. ”Hampir 80% kerugian negara berasal dari tender dan hampir 30% inefisiensi dana akibat kebocoran dari pengadaan barang dan jasa,”jelas Pak Suryanto. Kemudian dia menjelaskan bahwa dengan e-Procurement pemerintah dan vendor akan menghemat biaya, karena sudah tidak ada biaya biaya cetak lagi, cukup semua berkas di scan dan dikirim via internet. Untuk kedepan pemerintah mempunyai rencana untuk membangun e-Market Nasional, dimana proses audit pun akan menggunakan sistem elektronik, serta disediakan fitur pembelian nasional seperti amazon.com, dimana setiap barang memiliki standar yang sama, sehingga lebih memperkecil adanya kemungkinan penyimpangan dana karena pembelian barang dan jasa.
Acara diakhiri dengan memberikan kesempatan pada peserta diskusi untuk berdiskusi dan bertanya kepada ketiga narasumber. Diskusi tentang e-Procurement ini, dipandu oleh AM Rezky Mulyadi, dari Yayasan BaKTI.

 
Pendapat :
Menurut Pendapat saya, Corporate governance merupakan cara untuk meningkatkan kinerja suatu perusahaan dan merupakan konsepsi yang secara riil dijabarkan dalam bentuk ketentuan atau peraturan yang dibuat oleh lembaga otoritas, norma-norma dan etika yang dikembangkan oleh asosiasi industri dan diadobsi oleh pelaku industri, serta lembaga-lembaga yang terkait dengan tugas dan peran yang jelas untuk mendorong disiplin, mengatasi dampak moral hazard, dan melaksanakan fungsi check and balance.
Dalam hal ini setiap perusahaan atau instansi pemerintah harus memiliki etika bisnis dan tata perilaku untuk memajukan reputasi perusahaan sebagai karyawan dan pimpinan perusahaan yang bertanggungjawab. Nilai-nilai etika binis atau perusahaan yang sesuai dengan prinsip-prinsip GCG, yaitu kejujuran, tanggungjawab, saling menguntungkan, keadilan, keterbukaan dan kerjasama. Kode etik atau etika perusahaan tersebut hendaknya dipatuhi dan dapat dimengerti oleh seluruh karyawan dan pimpinan perusahaan agar dapat dilaksanakan dalam bentuk tindakkan.


Sumber :

PENERAPAN GCG DALAM BUMN



Penerapan Good Corprorate Governance pada BUMN Pertamina
Sebagai perusahaan yang tengah bertransformasi menuju perusahaan kelas dunia (World Class Company), BUMN di bidang minyak dan gas ini harus mampu meninggalkan citra negatif warisan masa lalu menuju Pertamina baru dengan tata kelola perusahaan secara transparan dan akuntabel.
    Implementasi Good Corporate Governance (GCG) yang dilakukan Pertamina sejak 2008 silam, kini hanya satu kata yang tepat untuk melukiskan kultur baru di perusahaan plat merah ini, yakni profesional. BUMN ini secara konsiten telah menerapkan kaidah-kaidah bisnisnya sebagaimana yang terangkum dalam GCG.
    Apalagi, GCG kini telah menjadi etika bisnis yang berlaku universal bagi perusahaan-perusahaan kelas dunia. Ada lima kaidah dalam GCG, yaitu transparansi, akuntabilitas, responsibiitas dan independensi. Kaidah-kaidah tersebut menjadi tiket kunci sukses bagi perusahaan yang akan bersaing di kancah global.
    Pertamina Clean, Pemerintah Indonesia melalui Kementerian BUMN telah menerbitkan Surat Keputusan No. Kep-117/M-MBU/2002 tanggal 1 Agustus 2002 tentang Penerapan GCG di BUMN. Sejak itu, Pertamina langsung bergerak menyusun langkah-langkah berupa tahapan pelaksanaan implementasi GCG dengan Tim Corporate Governance BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan) sebagai mitra kerja sekaligus sebagai konsultan.
    Dengan adanya program paling mendasar ini menunjukkan secara internal Pertamina ini sudah berbeda dari Pertamina yang lalu. Pembenahan di tubuh Pertamina yang diluncurkan sejak 2004 silam bermuara pada terciptanya tata nilai perusahaan, yakni Clean (bersih), Competitive (kompetitif), Confident (percaya diri), Customer Focused (focus pada pelanggan), Commercial (Komersial) dan Capable (berkemampuan).
    Terkait pencapaian rating GCG ini, Direktur Utama Pertamina Karen Agustiawan mengatakan, peningkatan score indeks GCG Pertamina dari tahun ke tahun memang makin meningkat. Namun, yang juga tak kalah penting adalah bagaimana Pertamina berusaha untuk terus meningkatkan performance-nya, baik dari keuntungan, volume produksi, hingga kegiatannya. "Ini tantangan besar bagi kami dan ini sudah menjadi komitmen semua direksi," ujar Karen Agustiawan beberapa waktu lalu.
    Dalam pembenahan secara utuh ini, Pertamina mencanangkan Pertamina Clean sejak tiga tahun silam. Bahkan untuk mendesain Pertamina Clean ini, Pertamina mengundang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk ikut meletakkan landasan korporat, perang melawan korupsi. Tanpa melawan korupsi dan membersihkan diri dari korupsi, Pertamina tak akan bisa melakukan perubahan.
    Guideline bagi Pekerja
    Untuk mengimplementasikan Pertamina Clean, ditandatangani Prinsip-prinsip Dasar Integritas Perusahaan untuk dijadikan guideline bagi pekerja Pertamina di semua lini. Prinsip dasar integritas itu antara lain, bertindak jujur, dapat dipercaya, menghindari konflik kepentingan, dan tidak mentolerlir suap.
    Selain itu, untuk mewujudkan Pertamina Clean, kini Pertamina juga mengembangkan Whistle-blowing System (WBS). Sebuah system yang memungkinkan seseorang melaporkan tindakan pelanggaran atau pengungkapan perbuatan melawan hukum, perbuatan tidak etis/tidak bermoral atau perbuatan lain yang dapat merugikan organisasi maupun pemangku kepentingan. Pelapor itu bisa dilakukan oleh karyawan, atau pimpinan organisasi kepada pimpinan organisasi atau lembaga lain yang dapat mengambil tindakan pelanggaran tersebut. "Jangan biarkan, laporkan dan bantu Pertamina menjadi tempat yang aman, adil dan jujur untuk bekerja," ujar Karen Agustiawan.
    WBS System ini dilaksanakan di Pertamina, tentu dilandasi oleh sebuah survey dari Institute of Business Ethics (2007) yang menyimpulkan, satu di antara empat karyawan mengetahui kejadian pelanggaran. Tetapi lebih dari separuh (52 persen) dari yang mengetahui terjadinya pelanggaran tersebut, tetap diam dan tidak berbuat sesuatu.
    Ikon Tatakelola Perusahaan
    Keberhasilan penerapan Good Corporate Governance kini menjadi champion bagi Pertamina. Salah satu pelopor Good Corporate Governance nasional yang menitikberatkan pada aspek transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, dan independensi dalam etika bisnis yang diterapkannya, kini menempatkan Pertamina sebagai perusahaan kokoh dan terpercaya di mata publik.
    Terbukti sebagai perusahaan besar. Pertamina mampu menjadi model ataupun ikon tatakelola perusahaan yang baik sebagaimana terangkum dalam kaidah Good Corporate Governance dalam pengelolaan bisnis saat ini. Dengan penerapan tata kelola korporasi yang baik di Pertamina, maka secara umum kondisi Good Corporate Governance di kalangan BUMN juga terdorong baik.
    Jajaran Direksi Pertamina di bawah kepemimpinan Karen Agustiawan akan terus meningkatkan transparansi dan akuntabilitas publik dengan menjalankan praktik-praktik bisnis sesuai dengan prinsip-prinsip Good Corporate Governance.
    Untuk itu sebelum memangku jabatan baru sebagai direksi Pertamina, mereka menandatangani Fakta Integritas dan kontrak kerja, untuk memberikan yang terbaik kepada korporasi, serta menolak praktek korupsi dan tidak mau menerima gratifikasi.
    Melalui implementasi tata nilai perusahaan di kalangan direksi Pertamina, ini akan menjadi inspirasi dan motivasi bagi seluruh jajaran Pertamina untuk mematangkan "Pertamina Baru" yang bebas korupsi dan kolusi.
    Ke depan, melalui perubahan aspek fundamental ini diharapkan akan mempercepat proses transformasi bisnis Pertamina menuju perusahaan kelas dunia.

Sumber : 

PENERAPAN GCG DALAM PERBANKAN


Penerapan GCG dalam perbankan :
Bank Mandiri terus memperkuat penerapan prinsip tata kelola perusahaan yang baik atau good corporate governance (GCG) dalam setiap bisnis proses. Salah satu hasilnya adalah pengakuan dari jurnal Corporate Governance Asian (CGA) sebagai Ikon penerapan GCG terbaik di Tanah Air.
Anugerah CGA Annual Recognition Award 2013 : Best of Asia untuk kategori AsiaFs Icon on Corporate Governance diserahkan oleh Publisher CGA Aldrin Monsod kepada Direktur Compliance and Human Capital Bank Mandiri, Ogi Prastomiyono di Manila, Filipina, Selasa malam (25/6).
Penghargaan The Best of Asia ini merupakan yang kelima kalinya disematkan kepada Bank Mandiri secara berturut-turut. Penghargaan diberikan atas dasar survei kepada lebih dari 12.000 korporasi dari 15 negara di Asia sebagai responden belum termasuk 120 korporasi lainnya dari kawasan Amerika dan Eropa.
Seluruh responden yang memberikan pendapat dalam survei ini merupakan korporasi-korporasi di industri keuangan seperti investors, analysts, fund managers dan investment funds.
Ogi Prastomiyono mengatakan, keberhasilan ini akan menjadi motivasi bagi sumber daya manusia di Bank Mandiri untuk memperkuat penerapan prinsip-prinsip GCG dalam seluruh proses perbankan guna mencegah terjadinya tindak kejahatan di bidang perbankan serta terus meningkatkan kinerja.
"Kami menyadari penerapan secara komprehensif prinsip-prinsip GCG menjadi faktor penting yang menentukan tingkat profitabilitas dan reputasi sebuah perusahaan serta keberhasilan dalam memberikan nilai tambah kepada stakeholders," ujar Ogi Prastomiyono.
Dalam kesempatan itu, CGA juga menyemati Wakil Direktur Utama Bank Mandiri Riswinandi dengan predikat Best Asian Corporate Director 2013. Penghargaan yang keempat kalinya diraih jajaran pimpinan Bank Mandiri tersebut diberikan atas komitmen untuk menerapkan GCG secara konsisten sebagai budaya kerja sehingga turut berkontribusi pada kinerja finansial perusahaan.
Penyaluran kredit Bank Mandiri tumbuh 19,7% dari 327,17 triliun menjadi Rp 391,6 triliun pada Maret 2013 dengan rasio NPL netto terjaga pada 0,57%, jauh dibawah level yang ditetapkan BI yaitu 5%. Adapun nilai aset perusahaan juga tumbuh 17,1% (yoy) dari Rp 546,9 triliun menjadi Rp 640,6 triliun pada Maret 2013.
Ogi menjelaskan, penerapan GCG di Bank Mandiri antara lain dilakukan dengan memberlakukan Code of Conduct dan Business Ethic sebagai pedoman berperilaku bagi seluruh jajaran Bank Mandiri mengenai hubungan sesama internal maupun pihak eksternal, seperti pemegang saham, perusahaan afiliasi, investor, pelanggan, pemasok, pemerintah dan masyarakat. 


Sumber :

PRINSIP GOOD CORPORATE GOVERNANCE (GCG)



Prinsip Good Corporate Governance (GCG)  :
Pendirian suatu organisasi sudah tentu ada tujuan yang hendak dicapai. Apalagi menyangkut organisasi bisnis yang pastinya ada peluang untuk meraup keuntungan dari usahanya tersebut. Dapat diawali dengan melakukan riset pasar untuk membuat pemetaan agar mendapat informasi yang lengkap dan gambaran yang jelas terkait ruang lingkup bisnisnya.
Selanjutnya semua itu tertuang dalam visi dan misi perusahaan. Visi dan misi tersebut merupakan pernyataan tertulis tentang tujuan-tujuan kegiatan usaha yang akan dilakukannya. Tentunya kegiatan terencana dan terprogram ini dapat tercapai dengan keberadaan sistem tatakelola perusahaan yang baik yaitu GCG (Good Corporate Governance).
GCG ini menjadi acuan suatu korporasi dalam menjalankan operasional hariannya agar berjalan lancar. Terdapat lima prinsip GCG yang dapat dijadikan pedoman bagi suatu korporat atau para pelaku bisnis, yaitu Transparency, Accountability, Responsibility, Indepandency dan Fairness yang biasanya diakronimkan menjadi TARIF.  Penjabarannya sebagai berikut :
1.      Transparency (keterbukaan informasi)
Secara sederhana bisa diartikan sebagai keterbukaan informasi.  Dalam mewujudkan prinsip ini, perusahaan dituntut untuk menyediakan informasi yang cukup, akurat, tepat waktu kepada segenap stakeholders-nya. Informasi yang diungkapkan antara lain keadaan keuangan, kinerja keuangan, kepemilikan dan pengelolaan perusahaan. Audit yang dilakukan atas informasi dilakukan secara independen. Keterbukaan dilakukan agar pemegang saham dan orang lain mengetahui keadaan perusahaan sehingga nilai pemegang saham dapat ditingkatkan.
2.      Accountability (akuntabilitas)
Yang dimaksud dengan akuntabilitas adalah kejelasan fungsi, struktur, system dan pertanggungjawaban elemen perusahaan.  Apabila prinsip ini diterapkan secara efektif, maka akan ada kejelasan akan fungsi, hak, kewajiban dan wewenang serta tanggung jawab antara pemegang saham, dewan komisaris dan dewan direksi.
Dewan direksi bertanggung jawab atas keberhasilan pengelolaan perusahaan dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan oleh pemegang saham. Komisaris bertanggung jawab atas keberhasilan pengawasan dan wajib memberikan nasehat kepada direksi atas pengelolaan perusahaan sehingga tujuan perusahaan dapat tercapai. Pemegang saham bertanggung jawab atas keberhasilan pembinaan dalam rangka pengelolaan perusahaan.
3.      Responsibility (pertanggung jawaban)
Bentuk pertanggung jawaban perusahaan adalah kepatuhan perusahaan terhadap peraturan yang berlaku, diantaranya; masalah pajak, hubungan industrial, kesehatan dan keselamatan kerja, perlindungan lingkungan hidup, memelihara lingkungan bisnis yang kondusif bersama masyarakat dan sebagainya.  Dengan menerapkan prinsip ini, diharapkan akan menyadarkan perusahaan bahwa dalam kegiatan operasionalnya, perusahaan juga mempunyai peran untuk bertanggung jawab kepada shareholder juga kepada stakeholders-lainnya.
4.      Indepandency (kemandirian)
Prinsip ini mensyaratkan agar perusahaan dikelola secara profesional tanpa ada benturan kepentingan dan tanpa tekanan atau intervensi dari pihak manapun yang tidak sesuai dengan peraturan-peraturan yang berlaku. Dengan kata lain, prinsip ini menuntut bertindak secara mandiri sesuai peran dan fungsi yang dimilikinya tanpa ada tekanan. Tersirat dengan prinsip ini bahwa pengelola perusahaan harus tetap memberikan pengakuan terhadap hak-hak stakeholders yang ditentukan dalam undang-undang maupun peraturan perusahaan.
5.      Fairness (kesetaraan dan kewajaran)
Prinsip ini menuntut adanya perlakuan yang adil dalam memenuhi hak stakeholder sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.  Diharapkan fairness dapat menjadi faktor pendorong yang dapat memonitor dan memberikan jaminan perlakuan yang adil di antara beragam kepentingan dalam perusahaan. Pemberlakuan prinsip ini di perusahaan akan melarang praktek-praktek tercela yang dilakukan oleh orang dalam yang merugikan pihak lain.


Sumber :