Kamis, 06 Januari 2011

artikel

The Enternity of Love

Namanya putra, anak laki-laki yang kuper, kikuk dan tidak percaya diri. Penampilannya tidak mengikuti perkembangan zaman yang sangat cepat perkembangannya seperti kapal jet buatan Amerika. Dalam kehidupannya, putra tidak mempunyai satu teman dekat sekalipun, teman-teman SMA-nya tidak ada yang mau berteman dengannya karena penampilan dan keprubadiannya yang terkesan kuno dan cupu itu. Putra hanya ditemani oleh kotak musik kesangannya pemberian dari mendiang ibunya yang sudah meninggal sejak putra berumur 5 tahun. Ayah putra pergi untuk bekerja diluar negeri dan hanya memberikan putra uang saku untuk kehidupan sehari-harinya tanpa pulang untuk melihat atau sekedar tahu bagaimana kehidupan anak satu-satunya itu.
“kring..kring..kring..” bel sekolah berbunyi ketika putra hanya tinggal beberapa langkah lagi masuk menuju pintu gerbang. “Maaf de! Ade sudah terlambat! Harap tunggu diluar sampai ada guru yang datang untuk memberi persyaratan untuk masuk ke sekolah..” tukas pak bambang satpam “killer” di sekolah putra. “Tapi pak! Saya ada ulangan MTK jam pertama, mohon kebaikannya pak..” jawab putra memelas. “Maaf de bapak hanya menjalankan tugas bapak” jawab pak bambang singkat. Hati putra sangat kacau, dia merasa jerih payahnya belajar semalam suntuk sia sia sudah. “Ya sudah putra, tidak usah disesalin gitu, pasti ada hikmahnya kok”. Tiba-tiba suara yang sangat dikenal putra terdengar olehnya, seraya menoleh “eh..iya ran, makasih perhatiannya”. Rani! Serunya dalam hati, rani adalah sosok perempuan yang dikagumi putra, baginya rani sangat sempurna terlebih karena wajahnya sangat mirip dengan mendiang ibunya. “ikut aku yuk, aku ingin mengajak kamu ke tempat kesukaan aku..mau gak?” ajak rani. “Tapi ran, kita gak nunggu guru yang mau jemput kita dulu untuk masuk?” Tanya putra heran. Tanpa fikir panjang rani menarik tangan putra dan memaksanya ikut. “Hey!! Mau kemana kalian??!” teriak pak bambang. Tanpa menggubris teriakan pak bambang mereka berlari menjauhi gerbang sekolah.
“Kita mau kemana ran? Kok ke tempat seperti ini sih?” Tanya putra heran memasuki wilayah yang banyak pepohonannya. “Kita ke tempat biasa aku mengabisi hariku, kalau aku bosan dan kesepian pasti aku kesini, tuh tempatnya!” tunjuk rani ke anjungan yang didepannya terhampar danau yang luas, putra terkejut dan terkesan. Dia baru tahu bahwa ada tempat seindah ini di wilayah yang tidak begitu ramai penduduknya. “wooooww…indah banget ran! Kamu tahu tempat ini dari siapa?” Tanya putra polos sambil clingak clinguk ke sekitar danau. “Hehe…sudah lama aku tahu tempat ini put, karena kamu baru pindah kesini jadi baru tahu deh” jawab rani terkekeh. “Iya ran, makasih ya sudah mengajak aku kesini” seru putra. “aduuh..dimana ya? tadi ada di tas” celoteh rani sendiri. “kenapa ran? Kok gelisah gitu sih?” Tanya putra khawatir. “Alat bantu pernafasanku, udaranya terlalu lembab disini put, aku jadi agak sesak” jawab rani. Tak lama mencari, alat bantu pernafasan rani ketemu dan rani langsung memakainya. “Hah..sedikit lega rasanya” ujar rani sambil tersenyum. “bagus deh..” terlihat senyuman manis putra menanggapi senyuman rani.
Sejak saat itu rani dan putra sering menghabiskan waktu di tempat favorit mereka berdua, begitu juga dilain waktu dan kesempatan mereka berdua selalu berusaha untuk bisa bersama ke suatu tempat yang mereka sukai. Mereka seperti sepasang kekasih, tidak…sepasang sahabat yang melebihi sepasang kekasih keharmonisannya. Waktu seiring berlalu, putra tidak hanya ditemani kotak musik kesayangannya yang diberikan mnediang ibunya, kini rani mulai mengisi hari hari putra.
“Put, ga kerasa ya, kita sudah mau lulus sekolah” ujar rani di ujung anjungan danau sambil menatap ke tengah danau. “iya..ga kerasa ya, makasih ya ran sudah mau menjadi teman aku” timpal putra. “Iya put, aku juga seneng kok bisa berteman sama kamu” Jawab rani dengan nada senang. “Kamu mau nerus kemana ran?” Tanya putra lagi. “ehmm.. aku masih belum tahu put. Eh pulang yu? Sudah sore nih” Jawab rani tergesa-gesa. “Oke yu” Jawab putra. Tetapi putra mencium bau keanehan dari gelagat rani. Tanpa fikir panjang putra mengikuti langkahnya menuju arah rumah kami yang tidak berjauhan.
Detik berganti menit, menit pun berganti jam, jam berganti harridan begitu seterusnya. Tak terasa mereka berdua telah lulus dengan nilai yang memuaskan. Hari-hari mereka kini terisi dengan hal-hal baru yang positif, putra pun kini mulai percaya diri dengan keadannya berkat kehadiran rani dalam hidupnya.
Siang itu putra sedang bersiap-siap merapihkan dirinya untuk mendatangi rumah rani hanya untuk sekedar bermain keluar, tetapi seperti ada yang mengganjal dihatinya. Hatinya tak tenang, nafasnya memburu agak sedikit sesak, tapi tak digubrisnya perasaan itu karena ia ingin menemui orang yang paling dikaguminya. “Permisi..” sahut putra dari luar pintu rumah rani. “Iya sebentar..” suara parau dari arah dalam rumah rani menyahut. “Rani ada tante?” Tanya setelah melihat ternyata tante anne yang membukakan pintu. “Eh putra, ada kok didalam kamarnya, ayo masuk” Jawab ibunda rani itu tanpa mengurangi rasa kegelisahannya itu. Tante anne berjalan menuju sebuah kamar sementara putra duduk di sofa ruang tamu, dan tak lama kemudian tante anne keluar tetapi tanpa rani. “Putra, kata rani masuk saja ke kamarnya. Gak apa-apa kok” seru tante anne. “Iya tante, permisi ya..” jawabnya dan langsung menuju kamar rani. Putra sangat terkejut melihat rani berbaring lemas, pucat!. “Ran kamu kenapa?? Kamu sakit?” Tanya putra dengan nada parau. “engga kok put, cuma sedikit pusing aja, maaf ya aku gak bisa temenin kamu ke danau” jawab rani sambil meminta maaf. “Ga apa-apa ran, kamu tuh harusnya istirahat aja..” jawab putra khawatir. “tapi ini kan hari ulang tahun kamu, aku juga sudah janji sama kamu mau merayakannya di danau put, tapi aku malah gak bisa nepatin janji aku! Penyakit sial!” protes rani tak sadar air matanya menetes jatuh dari tempat persembunyiannya. Tanpa berfikir panjang putra langsung memeluk rani dan berkata “Ran.. kamu seharusnya itu istirahat, aku gak perduli ini hari ulang tahunku atau enggak. Aku hanya perduli dengan kesehatan kamu, kamu istirahat aja ya ran..” kata putra sambil mengusap air mata rani. “Iya makasih ya put.. maaf sebelumnya” ucap rani. “Iya kamu istirahat aja ya.. jangan males makan, diminum juga obatnya ya?” pinta putra halus. “Iya put, selamat ulang tahun ya.. wish you all the best put” ucap rani dengan nada manis. “Iya.. makasih ya ran” jawab putra tersenyum lebar. Putra langsung ke luar kamar rani dan pamit dengan tante anne.
Hari ini seharusnya menjadi hari special untuk putra, tetapi menjadi tidak sangat special karena tidak ada rani yang menemaninya kali ini ke danau. Putra berjalan menyusuri pepohonan, menuju danaunya, danau putra dan rani. Sesampainya di ujung anjungan danau putra berdiri, dan mengenang semua kenangan yang pernah dilakukannya bersama sahabatnya, rani. Dari mulai pertama kali ia diajak ke danau ini, tiba-tiba dada putra terasa sesak. Entah kenapa seperti ada yang memanggil namanya, tapi tak terlihat siapa yang memanggilnya. Mata putra tertuju pada sosok perempuan yang membelakanginya dari kejauhan. Sosok yang sangat dikenalinya, “rani??” teriak putra dari kejauhan. Sosok itu menoleh sambil tersenyum kearah putra tapi perlahan mulai menjauh. “Rani.. kamu mau kemana? Kamu kan lagi sakit?!” tanpa fikir panjang putra langsung mengejar rani tapi rani menghilang. Mata putra tertuju pada pohon besar dan ternyata terlihat ada rani yang sedang terbaring lemas dibawahnya. “Rani..!!” teriak putra sambil berlari menghampiri rani. “Ran kamu ngapain? Kita pulang ya?” panik putra sambil menggendong rani. “enggak put, aku mau ke danau. Aku mau kamu bawa aku ke danau aja ya. Please..” bujuk rani kepada putra. “enggak ran! Kamu pucat begini, kita pulang atau ke rumah sakit aja ya?” pinta putra sambil bergerak jalan, tapi rani memberontak. “please put. Aku gak mau pulang atau ke rumah sakit. Aku mau ke danau, anggap saja ini permintaan terakhir aku put. Please..” pinta rani hamper menangis. “Duh.. oke deh. Tapi kamu yakin kamu gak apa-apa ran?” Tanya putra purau. “Iya put.. aku janji..”
Putra membawa rani ke anjungan danau. Menggendongnya dengan hati-hati. Dilihatnya wajah rani yang pucat namun tetap indah matanya seperti halnya rani sehat. “pemandangannya gak berubah ya put? Masih bagus aja kaya dulu waktu pertama kali aku ajak kamu kesini” Tanya rani sambil tersenyum. “Iya ran, ga ada yang akan berubah sama danau ini. bakal tetap indah pemandangannya sampai kapanpun” jawab putra. “oh iya put, ini buat kamu” tangan rani membuka kalung buatannya sendiri yang sangat dijaganya dan langsung memakaikannya dileher putra. “maaf ya put, aku cuma bisa kasih ini ke kamu” tambah rani perlahan. “Ya ampun ran.. makasih ya.. tapi ini kan kalung kesayangan kamu. Ini juga udah berarti bangat kok buat aku. Kalung yang indah.. maksih ya ran” jawab putra. Tetapi rani tidak menjawab. Ia hanya tersenyum dengan mata tertutup. “Ran? Kamu kenapa?? Bangun ran! Bangun ran! Rani.. !!!” teriak putra menggelegar di danau.
Air mata putra terus bercucuran ketika melihat prosesi pemakaman rani. Deru tangis tante anne begitu derasnya, terdengar oleh yang hadir di acara pemakaman ini. “Udah bu.. jangan nangis terus, kasihan rani nanti sedih di alam sana” kata seorang perempuan yang berada terus disamping tante anne yang ternyata adalah sari, kakak perempuan rani yang baru datang dari luar negeri setelah mendengar kepergian adik kesayangnnya itu. “Iya sari.. ibu coba untuk sabar dan ikhlas..” jawab tante anne sedih. Proses pemakaman selesai, semua orang telah meninggalkan makam sahabatnya itu kecuali putra yang masih berdiri tegak seakan ingin terus berdiri disamping makam rani untuk menemaninya. “Ran.. kenapa kamu ninggalin aku? Kamu udah janji kan kamu gak bakal.. kenapa? Kenapa? Tapi..” tak sadar putra mengoceh sendiri dan terus menangis.
Putra pulang seusai mendo’akan dan mengucapkan kata perpisahan pada rani di makamnya. Kamarnya yang dipenuhi foto-foto bersama rani, sahabatnya, orang yang paling dikaguminya, bahkan orang yang paling disayanginya. Seakan kosong tidak ada warna yang dulu ada saat putra dan rani asik bermain, belajar dan menempel foto-foto yang tertempel di dinding kamar putra. “Ran, makasih ya.. kamu udah ngajarin aku banyak hal, dari mulai hal-hal yang kecil sampai sesuatu yang besardalam hidupku. Makasih yaa.. kamu sesuatu yang besar yang pernah ada di dalam hatiku..” ujar putra memandangi foto-fotonya bersama rani dan menggenggam kalung pemberian rani, sahabatnya. Yang tanpa sadar menjadi sebagian dari hidupnya, melebihi kasih sayang seseorang terhadap pasangannya. Satu yang disesali putra hingga akhir hidupnya, ia tak sempat menyampaikan perasaan pada orang yang sangat disayanginya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar